Fairy Clock


Get your own Digital Clock

Senin, 05 Desember 2011

Kerusuhan Mei 98

Kebisuan demi Kebisuan di Atas Timbunan Pelupaan
( Maria Hartiningsih)

WHAT there was, from the start, was the great silence, which appears in every civilized country that passively accepts the inevitability of violence, and then the fear that suddenly befalls it. The silence which can transform any nation into an accomplice. (Jacobo Timmerman, Prisoner without a Name, Cell without a Number, 1981).

TOLONG jangan sebut nama saya...." Kalimat ini merupakan kalimat pembuka dari beberapa narasumber yang diminta menceritakan kesaksian mereka mengenai peristiwa kerusuhan Mei tanggal 13-15 Mei tahun 1998. "Bukan apa-apa, saya kira kita semua tahu bahwa ada jaminan perlindungan bagi kita dan saya yakin terornya belum selesai karena peristiwa ini menyangkut kepentingan pihak- pihak tertentu yang tidak ingin kasus ini terbuka," ujar Hakim, sebut saja begitu, seorang pengusaha di Solo yang setelah peristiwa kerusuhan yang menghancurkan tokonya itu kini lebih banyak bekerja di bidang sosial.

"Harus saya katakan, sekarang ini korban dan pelaku berpelukan," Hakim melanjutkan dengan nada sarkastis. "Bagaimana tidak? Korban masih tetap ketakutan, skeptis, karena memang sudah lima tahun tidak ada tanda-tanda kasus ini akan ditangani serius, sementara pelaku atau perencana atau siapa pun yang merancang semua ini punya kepentingan agar kasus ini jangan dibuka, kalau mungkin dihapus saja dari sejarah, karena akan membahayakan posisi politik mereka. Jadi, klop kan? Yang satu takut, yang lainnya mau menghapuskan."

Cara untuk melakukan semacam ancaman, teror, atau apa pun namanya, saat ini muncul dalam bentuk yang lain. Seperti dikemukakan Agus Santo, building manager dari sebuah pusat perbelanjaan yang sudah dibangun megah lagi di bilangan Klender, Jakarta Timur, izin untuk melakukan upacara "malam seribu lilin" guna memperingati para korban yang tewas di
kompleks pertokoan itu pada tanggal 14 Mei 1998 harus dikeluarkan oleh polisi supaya pihaknya merasa aman dan dapat menjawab pertanyaan dua kelompok yang menggunakan identitas kesukuan untuk "mengamankan wilayahnya".

Padahal, peristiwa yang menandai turunnya Presiden Soeharto itu bukanlah peristiwa ringan. Korban sejumlah 1.217 orang, 91 terluka dan 31 orang hilang, menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, adalah terampasnya kehidupan dan masa depan dari ribuan keluarga. Sementara itu, pembangunan gedung-gedung di atas reruntuhan puing-puing di mana korban tewas secara mengenaskan itu kini telah berdiri lagi. Megah, mewah, sejuk, ditingkahi dentuman musik dan berbagai kalimat rayuan supaya pengunjung membeli. Belum lagi acara-acara khusus yang dirancang sebagai sarana promosi dan penjualan produk yang terus dilakukan untuk menyedot pengunjung.

Kapitalisme menjadi obat mujarab untuk membangun ekonomi dan melupakan masa-masa yang penuh kekalutan itu. Pun banyak dari kita ikut berteriak tentang pemulihan ekonomi, menghitung kerugian, dan kemudian membangun lagi dari yang tersisa. Kosmolog dan ahli filsafat, Dr Karlina Supelli, mengatakan, kejadiannya akan selalu begitu: kita membangun angka-angka di atas tulang belulang. "Drive your cart and your plow over the bones
of the dead," kata William Blake.

Masihkah tersisa dalam ingatan kita gambar seorang bapak yang putus asa bertanya di mana jenazah anaknya di antara ratusan tubuh kaku berbau sangit di lantai kamar mayat rumah sakit? Masihkah kita bisa membayangkan seorang ibu memeluk dua bocah kecil, ketiganya hangus dan hanya terbungkus dalam sebuah plastik hitam? Tangisan Bu Sanusi setiap menjelang tanggal 14 Mei untuk Nur, anaknya yang tewas di Slipi Plaza,
Jakarta Barat, lenyap ditelan hiruk-pikuk roda ekonomi yang tersaruk-saruk di tengah persaingan dagang di antara para pengangguran.

Suara mereka tetap saja terbisukan oleh berbagai peristiwa yang "lebih penting" dan "lebih besar"; yang sebenarnya juga tak jauh dari tindakan kekerasan dan kekejaman, yang suara korbannya juga terbisukan di atas tumpukan kebisuan lainnya yang sudah berjamur dan berkarat dari kasus-kasus kekerasan politik yang tidak pernah diselesaikan. Bagaimana
mungkin kekerasan bisa dihentikan ketika kekerasan yang terjadi pada masa lalu hendak dilupakan dan suara para saksi tetap terbisukan?

"BAGAIMANA saya bisa melupakan peristiwa itu," ujar Ny Santi, sebut saja begitu, seorang pendamping korban dalam kerusuhan Mei. Ibu dua anak yang bergabung dengan suatu tim dan khususnya membantu korban yang diduga mengalami kekerasan seksual. "Semula saya menganggap itu hanya kerja kerelawanan untuk kemanusiaan saja. Saya tidak tahu kalau ada dimensi politik dalam pekerjaan saya," ujarnya.

Santi semula membantu satu keluarga, suami-istri dan seorang anak gadisnya, yang tinggal di belakang sebuah show room mobil di bilangan Ciputat. Ketika massa merusak tempat itu, keluarga itu bisa meloloskan diri, dan kemudian diselamatkan. Mereka dikontrakkan rumah. Namun, tak lama setelah kejadian itu, sang ibu dan sang ayah terus bergantian masuk rumah sakit. Santi hanya mengantarkan, mendampingi, dan tak berusahamencari tahu.

Sampai pada suatu hari, Santi ditelepon oleh sang ibu, yang mengabarkan anaknya mengalami pendarahan hebat. Santi segera datang dan membawa anak itu ke rumah sakit terdekat, kemudian dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar. Namun, rupanya upaya menyelamatkan anak itu gagal. Anak itu kehabisan darah dan akhirnya meninggal. "Saya baru tahu, rupanya sang ayah dan sang ibu tertekan karena ada sesuatu yang menimpa anaknya,namun ia tidak bisa bicara, sampai mereka sakit-sakitan," kenang Santi. Ia sendiri tidak bisa memaafkan dirinya yang merasa kurang tanggap pada situasi itu. "Memang ada berita di koran soal perkosaan saat kerusuhan, tapi saya tidak berpikir kalau hal itu benar-benar terjadi sampai saya menghadapinya sendiri."

Santi juga mendampingi seorang anak gadis yang dilemparkan dari lantai tiga ruko di daerah Jatinegara saat ruko ayahnya dimasuki secara paksa dan dijarah oleh sekelompok orang. Gadis itu mengalami cedera pada tulang punggung yang membuat ia mengalami kelumpuhan yang nyaris permanen. Sulitnya, ibunya telah bercerai dari sang ayah dan kejadian di tempat ayahnya itu dijadikan alasan bagi sang ibu untuk tidak mau bertanggung jawab terhadap nasib anak gadisnya. Santilah yang kemudian terus mendampingi anak yang mengalami trauma luar biasa ini. "Ia sangat ketakutan melihat orang, apalagi laki-laki," kenang Santi.

Santi baru menjadi semakin jelas bahwa pendampingan yang ia lakukan bernuansa politik ketika dua tamu dari Australia yang ingin membantu dampingannya yang lumpuh itu untuk berobat ke Australia, diacak-acak kamar hotelnya, dan gerak-gerik mereka seperti selalu diikuti seseorang. Karena itu, ketika ada seorang Indonesia yang telah menjadi warga negara
AS meminta dipertemukan dengan satu korban perkosaan untuk dibawa ke AS dan dijamin hidupnya, Santi mulai waspada. "Saya memang kenalkan dengan seorang korban kerusuhan, tetapi korbannya laki-laki dan luka fisik. Eh, orang itu enggak datang lagi."

Ketika ke Australia mengantar anak dampingannya, Santi masih berhadapan dengan fakta yang menyesakkan. "Suatu Minggu pagi, saya diajak oleh relawan dari sana untuk menengok seorang perempuan dari Indonesia yang mengungsi ke sana. Tetapi, entah bagaimana, kunjungan itu diundur jadi agak siang. Ketika kami tiba, anak itu sudah menggantung diri di garasi.. Kalau saja kami datang lebih pagi, mungkin peristiwa itu tidak akan terjadi."

Santi pun terimbas oleh trauma dari dua peristiwa yang melibatkan dia dalam kegiatan pendampingan. "Lama setelah kejadian itu saya baru bisa mengatakan kepada diri saya.. Itu bukan salahmu.... Yang bersalah adalah pelaku, orang yang melakukan perbuatan keji itu."

Masalah perkosaan dalam kerusuhan Mei menjadi isu kontroversial saat itu, bahkan mungkin sampai saat ini, karena tidak ada "bukti". Artinya,tidak ada saksi yang berani melapor pada polisi, dan berbagai argumentasinya dibangun untuk menolak atau menyangkali peristiwa
tersebut. Menurut beberapa anggota TRK, para saksi dan dokter yangsemula mau memberikan kesaksian menerima telepon gelap. Mereka diminta membatalkan niat itu, atau sesuatu akan menimpa keluarganya.

Dalam kasus perkosaan dalam kerusuhan ini peran para tokoh perempuan seperti Saparinah Sadli dan kawan-kawannya sangat berarti untuk mengungkapkan terjadinya kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei. Laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) menyebutkan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya sebanyak 52 orang. TGPF juga menemukan bahwa
sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, artinya korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama di tempat yang sama. Namun, dalam kesimpulannya, TGPF belum dapat memastikan apakah kekerasan seksual merupakan bagian yang terencana atau ekses dari kerusuhan. TGPF juga menyimpulkan bahwa perangkat hukum positif tidak memadai dan oleh karena itu tidak responsif untuk memungkinkan semua kasus perkosaan yang ditemukan atau dilaporkan dapat diproses secara hukum dengan segera. Sementara laporan dari Pelapor Khusus PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan, Radikha Coomaraswamy, khusus mengenai masalah perkosaan ini, ditolak oleh Pemerintah Indonesia dalam sidang di PBB.

"DI Solo, sampai saat ini juga tidak ada orang yang bersedia memberikan keterangan mengenai peristiwa yang mereka alami, meskipun kejadiannya sudah lewat lima tahun," ujar HM Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyat (Pesantren Mahasiswa dengan fokus pengembangan masyarakat) Windan, Makamhaji, Solo, dan Ketua Tanfidziyah, PCNU Solo.

Dalam beberapa pertemuan, menurut Dian Nafi, para pengacara masih saja meminta bukti supaya kasus-kasus itu bisa dibawa ke pengadilan. "Mereka bilang, Anda kan orang terpelajar, tapi Anda tidak mengumpulkan bukti untuk dibawa ke pengadilan," lanjut Dian.

"Bagaimana memberikan bukti karena aspek-aspek keamanan tidak pernah dipikirkan? Kalau sampai seseorang diketahui sebagai korban, ia bisa-bisa akan menjadi korban lagi karena tidak ada perlindungan," sambungnya. Hal yang sama disampaikan oleh seorang rohaniwan Katolik yang juga tidak mau disebut namanya.

RUU Perlindungan Saksi dan Korban sampai saat ini masih belum pernah dibahas oleh DPR, dengan alasan kesibukan membahas berbagai RUU bidang politik. RUU Perlindungan Saksi dan Korban diusulkan oleh 40 anggota DPR kepada pimpinan DPR pada bulan Juni tahun 2002. Menurut Tumbu Saraswati, pembahasan RUU tersebut di Badan Legislasi DPR sudah lama selesai. Yang ditugaskan membahasnya sekarang adalah Komisi II DPR. Anggota Badan Musyawarah dari Fraksi Partai Golkar Yahya Zaini mengungkapkan, dalam masa persidangan sebelum reses ini, RUU tersebut disepakati Bamus DPR untuk dibahas oleh Komisi II DPR (Kompas, 8/4/2003).

Meskipun beberapa bangunan yang hancur di Solo, seperti di Purwosari, belum dibangun lagi, menurut Dian Navi kegiatan ekonomi seperti telah pulih. "Masyarakat Solo tampaknya memecah mana yang politik mana yang ekonomi, dan tampaknya masyarakat cukup puas dengan pemulihan ekonomi karena penyelesaian politik belum tentu bisa dicapai."

Ada banyak analisis mengenai kerusuhan Mei. Nama beberapa tokoh yang bermain dengan "permainan" keji ini sudah sering disebut-sebut, tetapi bukti, sekali lagi bukti, bahwa mereka terlibat, selalu menjadi pertanyaan, khususnya di kalangan para elite politik. Banyak buku dibuat beberapa tokoh untuk "menjernihkan" persoalan tersebut, namun buku-buku itu tak lebih dari pembelaan yang tidak menjelaskan apa-apa, kecuali sebagai sarana untuk "mencuci tangan bersih-bersih".

Maka, seperti dikatakan sosiolog Julia Suryakusuma, bukti dan kebenaranberkaitan dengan persepsi, yang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan. Dalam konteks pemerintahan yang otoriter, yang berbicara bukan kebenaran, tetapi kekuasaan, bahkan sering kali penguasa bisa menyulap kebohongan menjadi kebenaran karena "bukti" adalah obyek yang mereka kontrol dan kuasai. Penguasalah yang punya perangkat dan sarana untuk memaksakan interpretasinya terhadap suatu kejadian sehingga menjadi "kebenaran" publik. Dengan kekuasaan menginterpretasikan pula, maka korban bisa menjadi tertuduh.

Kini, bukti-bukti yang paling nyata dari tindak kebiadaban itu pun telah menghilang dalam bayangan kemewahan gedung- gedung modern. Waktu kemudian menjadi ukuran yang sangat relatif. Kekuatan modal dan penguasa
kini bergandengan tangan untuk membuktikan apa yang dikatakan Anthony
Srorr dalam Human Destructiveness bahwa pada dasarnya manusia cenderung
melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Padahal, novelis Milan
Kundera telah mengingatkan bahwa perjuangan melawan totalitarianisme
adalah perjuangan ingatan melawan pelupaan.

Kebisuan demi kebisuan tak hanya mendukung pelupaan, tetapi juga pupuk
yang amat subur bagi kekerasan dan penindasan. Sementara itu, korban
bukan merupakan kelompok monolitik, dan kepentingan demi kepentingan
dari kelompok-kelompok yang berebut kekuasaan politik akan terus
berusaha melakukan manipulasi untuk merebut suara mereka dalam "pesta
demokrasi" bernama pemilihan umum.

Tujuannya, tentu saja bukan benar-benar memperjuangkan keadilan dan menegakkan kebenaran menurut versi korban, tetapi untuk kembali membungkamnya setelah posisi politik berhasil direbut. Maka, benar kataTimmerman, kebisuan akan mentransformasikan suatu bangsa menjadi antek yang mengabadikan kekerasan dan penindasan.(mh)

Bagaimana mungkin kekerasan bisa dihentikan ketika kekerasan yang
terjadi pada masa lalu hendak dilupakan dan suara para saksi tetap
terbisukan?*

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Mungkin dalam istilah sosiologi kasus di atas dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih atas kerah biru dimana kerah putih berusaha untuk mengendalikan kerah biru agar kerusuhan Mei'98 jangan sampai terpublikasikan dan bahkan hilang sama sekali dari peradaban...

    BalasHapus
  3. ini hasil dari penelitaan anda sendiri?
    kpan dilaksanakan?

    BalasHapus